Langsung ke konten utama

Al-Asybah wa an-Nazhair Suyuthi

Al-Asybah wa an-Nazhair Suyuthi Kaidah Penting Berijtihad

Al-Asybah adalah entri berharga dalam kajian ushul fikih bermazhab Syafi'i yang ditulis Imam Suyuthi.

Kompleksitas persoalan yang berkembang di tengah-tengah umat membutuhkan jawaban yang logis dan syar'i. Masalahnya, ternyata tidak semua kasus baru yang muncul sudah ditegaskan dalam teks secara tersurat, baik nas Alquran maupun sunah.

Pada saat yang sama, kejadian dan peristiwa terus bertambah seiring perjalanan waktu. Dorongan kuat untuk berijtihad dan beranalogi menggunakan kaidah-kaidah yang didasari kedua sumber hukum Islam akhirnya mutlak diperlukan.

Dalam sebuah surat resmi yang ditulis untuk hakimnya, Abu Musa al-Asyari, Umar bin Khattab menegaskan pentingnya mengomparasikan kasus-kasus yang sama atau berbeda kemudian menarik titik temu dan kesamaan illat, latar belakang kejadian, dan maksud dari hukumnya.

Upaya tersebut dilakukan guna mendapatkan benang merah dari sejumlah kejadian. Selain itu, unsur-unsur berijtihad juga perlu diperhatikan agar meminimalisasi kesalahan pada setiap fatwa yang diputuskan.

Kondisi seperti ini memicu sebagian ulama membuat kaidah-kaidah fikih yang bisa dijadikan panduan pengambilan hukum kaidah-kaidah tersebut yang berbeda dengan kaidah ushul fikih.

Perbedaan antara kedua disiplin itu, menurut Syihabuddin Al-Qurafi dalam kitabnya Al furuq, terletak pada objek bahasan. Ushul fikih membahas dalil-dalil berikut aplikasinya untuk merumuskan putusan hukum tertentu. Sedangkan, kaidah fikih diambil dari kasus yang sering terjadi, terutama yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam ushul fikih.

Di kalangan Mazhab Syafi'i, beberapa deretan nama ulama memberikan sumbangsih berharga. Misalnya, Izzudin bin as-Salam mengarang Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam dan Ibn Al-Wakil as-Syafi'i dengan kitabnya al-Asybah wa an-Nazhair.

Kontribusi berarti disumbangkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi (911 H/1505 M). Salah satu karya monumentalnya adalah al-Asybah wa an-Nazhair Fi Qawaid wa Furu'i Fiqh asy-Syafi'iyyah. Sebelum menulis /al-Asybah, Suyuthi terinspirasi oleh kitab yang lebih dulu ia tulis tentang standar dan kaidah fikih, (Syawarid al-Fawaid fi Adh dhawabith wa al-Qawaid). Kitab tersebut mendapat sambutan luar biasa dari kalangan murid ataupun ulama. Di satu sisi, kehadiran kitab tentang kaidah yang cukup beragam, baik dari corak maupun sistematika penulisan, mengilhami Suyuthi untuk membukukan kaidah-kaidah fikih secara lebih singkat, padat, dan sistematis.

Al-Asybah merupakan ringkasan dari kitab-kitab tentang kaidah fikih yang pernah ditulis sebelumnya. As-Suyuthi mengambil kaidah-kaidah terpenting yang terdapat di beberapa kitab, di antaranya al-Majmu al-Madzhab Fi Qawaid al-Madzhab karangan Abu Said al-Alai, al-Asybah Wa an-Nazhair yang ditulis Tajuddin as-Subuki, dan kitab al-Mantsur Fi Tartib al-Wawaid al-Fiqhiyyah karya az-Zarkasyi.

Kendati kitab yang dikarangnya bukan entri baru di cabang ilmu ini, terutama yang bercorak Mazhab Syafi'i, Suyuthi unggul dalam beberapa hal. Selain al-Asybah lebih ringkas, paparan yang disampaikan dilengkapi dengan analisis kritis dan komparasi antara pendapat yang merupakan ciri khas dan kepiawaian Suyuthi.

Terkait referensi kitab fikih, Suyuthi menggunakan kitab fikih Mazhab Syafi'i terkemuka. Kitab yang sering dikutipnya adalah Raudhat a-Thalibin dan al-Manhaj karangan an-Nawawi.

Suyuthi membagi kitabnya dalam tujuh bab, tidak termasuk pendahuluan. Tiap-tiap bab mempunyai cakupan bahasan yang luas dan terdiri atas banyak sub-sub bahasan. Seandainya dilakukan penelitian lebih dalam dan detail, niscaya satu dari sekian bab yang ada bisa dijadikan judul buku tersendiri. Di sinilah letak keahlian Imam Suyuthi, mahir membuat ringkasan dari sekumpulan kitab tanpa harus mengurangi esensi dan kualitas.

Pada bab pertama, Suyuthi mengulas tentang lima kaidah fikih dasar yang dianggap ulama sebagai rujukan pelbagai persoalan fikih. As-Suyuthi menyebutkan, dalam Mazhab Syafi'i, lima kaidah dasar tersebut adalah hasil perampingan dari 17 kaidah yang pernah digagas ad-Dabbas dalam Mazhab Hanafi.

Kelima kaidah tersebut, yaitu: perbuatan bergantung niatnya (al-umuru bi maqaashidiha), yakin tidak bisa dikalahkan keraguan-raguan (al-yaqin la yuzalu bi asy-syak), kesulitan mendatangkan keringanan (al-masyaqqatu tajlib at-taisir), menghilangkan bahaya (ad-dharar yuzal), dan tradisi adalah sumber hukum (al-adatu muhakkamah).

Kaidah tentang perkara bergantung niat merupakan kaidah yang sangat prinsipil dalam hukum Islam. Dasar kaidah ini adalah hadis nabi, innama al-a'malu bi an-niyyat. Dianggap penting lantaran tiap tindakan Muslim dibangun atas dasar niat.

Niatlah yang membedakan amalan satu sama lain. Misalnya, shalat wajib dan sunah ataupun zakat dan sedekah. Lebih jauh lagi, As-Suyuthi menyebutkan, niat merupakan penentu diterima atau tidak amalan seseorang. Menukil kesepakatan Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Ibn Mahdi, dan ulama lainnya, niat disebut-sebut sebagai sepertiga ilmu. Sementara, bab kedua membahas tentang 40 kaidah-kaidah umum yang menghasilkan gambaran tentang hukum atas kasus-kasus yang parsial. Misalnya, kaidah yang menyatakan, ijtihad pertama tidak akan batal dengan keberadaan ijtihad yang kedua (al-ijtihad la yanqudlu bi al-ijtihad).

Menurut Ibn as-Shabagh, landasan kaidah ini adalah konsensus para sahabat. Putusan hukum yang pernah dibuat oleh Abu Bakar, misalnya, tidak serta-merta mengubah hukum yang pernah dibuat Umar bin Khattab. Alasannya, ijtihad yang kedua tidak lebih kuat dari ijtihad yang pertama.

Inkonsistensi produk hukum akan berakibat pada ketidakstabilan dan menyebabkan kesulitan yang akut. Contoh kasus, berdasarkan kaidah al-ijtihad la yanqudlu bi al-ijtihad, jika ada orang fasik membatalkan kesaksiannya lalu bertobat dan ingin kembali bersaksi, kesaksiannya akan tetap ditolak sekalipun telah bertobat.

Tarjih Bab ketiga membahas tentang kaidah-kaidah yang diperselisihkan dan tidak bisa ditarjih secara mutlak karena adanya perbedaan pandangan terkait furu' (cabang) masalah.

Menyikapi kasus seperti ini, proses tarjih harus memperhatikan dan mempertimbangkan detail furu' yang ada. Tujuannya agar sikap generalisasi bisa dihindari. Misalnya, kaidah tentang hukum shalat di belakang imam yang tidak diketahui apakah dia benar-benar suci dan tidak berhadas.

Suyuthi menyebutkan, perbedaan furu'-nya, di antaranya keabsahan shalat Jumat saat berada pada kondisi seperti di atas, sah atau tidakkah keutamaan berjamaah, dan perbedaan tentang makmum yang masbuk.

Keempat, penjelasan mengenai hukum-hukum yang sering beredar di masyarakat dan penting diketahui oleh ahli fikih dan siapa pun yang hendak memberikan fatwa.

Seperti hukum aktivitas, baik yang berkenaan dengan transaksi maupun ibadah yang dilakukan oleh orang yang lupa (nasi), bodoh (jahil), dipaksa (mukrah), dan mabuk (sakran). Perihal mabuk, sebagaimana yang ditulis Suyuthi, ulama berselisih pandang. Ada dua pendapat yang berbeda, tetapi yang paling kuat menurut Syafi'i, yaitu orang mabuk tetap dihukumi mukalaf.

Kelima, standar umum yang berlaku dalam bab fikih. Dalam bab ini, Suyuthi menjelaskan secara singkat standar yang digunakan dalam persoalan fikih. Terkait standar dan acuan umum bersuci, wudhu, tayamum, mandi junub, kriteria air, shalat, azan, persoalan kiblat, dan zakat.

Bab keenam, perbedaan antara dua istilah yang terkesan sama, padahal mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Menukil Bulqini dalam kitab at-Tadrib, as-Suyuthi menyebutkan sejumlah konsekuensi hukum yang membedakan tayamum dan wudhu, di antaranya anggota yang diusap ketika tayamum hanya wajah dan kedua tangan, tidak wajib mengusap rambut, berlaku untuk satu shalat wajib, tidak boleh dilakukan sebelum waktu shalat datang, dan tayamum diperbolehkan hanya saat kondisi terpaksa atau karena uzur tertentu.

Bab ketujuh mengulas tentang perbandingan kasus yang terjadi dalam masalah ushuliyah karena adanya kesamaan konteks dengan persoalan yang terjadi dalam fikih ataupun bahasa. Misalnya, perselisihan mengenai keberadaan dan fungsi nasakh. Apakah nasakh berarti mengangkat dan membatalkan hukum sama sekali atau justru memperkuat dan menjelaskan konteks hukum yang pertama.

Bandingannya dalam kasus fikih, yaitu hukum bersuci setelah berhadas. Apa status bersuci yang pertama sebelum berhadas dan bersuci untuk kedua kalinya. As-Suyuthi menyebutkan, menurut Ibn al-Qash dalam kitab at-Talkhis, status bersuci yang pertama dianggap batal.


Lima Kaidah Mendasar Interpretasi Hukum

Ada lima kaidah dasar dan merupakan prinsip hukum Islam yang sering dirujuk oleh para ulama. Pertama, suatu perbuatan ditentukan oleh niat (al-umuru bi maqashidiha). Niat dijadikan barometer untuk menentukan status hukum sebuah tindakan.

Dalam perkara kriminal membunuh, niat merupakan penentu sekaligus titik yang membedakan jenis pembunuhan. Apakah pembunuhan yang dilakukan termasuk kategori membunuh karena disengaja dan ada niatan (qatl al-amad) ataukah dilakukan secara tidak sengaja dan tanpa ada niatan (qatl bi ghair al-amad), rujukan menentukan hukumnya bisa dilihat dari niat sang pelaku.

Kedua, yakin tidak bisa dikalahkan dengan keraguan (al-yaqin la yazalu bi asy-syak). Sikap ragu sering kali dihadapi ketika beribadah. Maka, kaidah yang dipakai, keragu-raguan tidak boleh mendominasi sikap yakin. Seseorang harus mantap dengan hal terakhir yang diyakininya.

Misalnya, apabila seseorang ragu apakah dia wudhunya sudah batal atau belum, padahal sebenarnya dia masih belum batal. Dia harus berpegang pada keyakinannya dan menghilangkan sikap waswas tersebut.

Ketiga, kesusahan mendatangkan kemudahan (al-masyaqqatu tajlib at taisir). Apabila seseorang mendapati kesusahan menjalankan ibadah karena alasan syar'i, dia berhak atas dispensasi atau rukhshah.

Keempat, malapetaka harus dihindari (adh-dharar yuzal). Salah satu prinsip dan tujuan syariah adalah menjaga keberlangsungan hidup atau hifdz an-nafs. Aplikasi kaidah ini, di antaranya dalam kondisi tertentu yang memaksa dan tidak ada pilihan lain seseorang diberi kelonggaran untuk melanggar ketentuan syar'i agar tetap bisa bertahan hidup. Misalnya, seseorang diperbolehkan memakan daging ular tatkala berada di hutan dan tidak mendapati makanan lain.

Kelima, kebiasaan adalah hukum (al-'adat muhakkamah). Aturan dan tradisi yang sesuai dengan syariat bisa menjadi sebuah hukum atas kasus tertentu. Misalnya, konsumsi makanan masyarakat lokal dijadikan pengganti kurma atau gandum yang kerap dipakai sebagai patokan berfidyah atau bersedekah, terutama di negara-negara yang tidak ditemukan kedua bahan pokok tersebut.

Cara pemesanan:
_______________________________________
Nama : .....
Alamat lengkap : .....
Kode POS : .....
No Telpon : ....
Judul buku & jumlah : .....
________________________________
Kirim ke :
________________________________
INBOX
WA : 👉 0819 4499 8581
         👉 0856 987 4700
         👉 082121217687
         👉 0858 0000 1090
         👉 0853 3159 0181
        👉 0857 3023 5777

Kunjungi👇

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado Turats

Kado Turats  Tuntunan Praktek Ibadah Terspesial Penyusun Laskar Turats 2011 penerbit Lirboyopress bekerjasama dengan Turats tamatan Pondo Pesantren Lirboyo 2011 xx + 280 hlm; 10.5 x 16 cm Fenomena yang terjadi pada saat ini bahwa sebagian muslim di Indonesia menjalankan ibadah sehari-hari belum atau masih kurang sesuai dengan standar syariat yang sesuai dengan yang diajarkan ulama. Mulaidari Istinja\, wudlu, mandi, sholat berikut jmaahnya, perawatan jenazah sampai masalah kuburan. Harapan kami, dengan hadirnya buku KADO TURATS ini bisa menjadi solusi berbagai masalah yang dihadaaapi, menjadi panduan praktis dalam beribadah sehari-hari. Karena buku ini menyajika figh Ibadah dengan teori dan praktek melalui visualisai/ gambar yang akurat dan jelas sumber referensinya. ⇲ FORMAT PEMESANAN 📝  Nama Lengkap : 📝  Alamat :         DusunRT/RW :         Desa    :    ...

kitab badai'uzzuhur cetakan haromain

Metode Cepat dan Praktis Memahami Jurumiyah

Judul: Metode Cepat dan Praktis Memahami Jurumiyah dilengkapi dengan Tanya Jawab Penerbit: Santri Salaf Press Tahun: 2017 Ukuran: Saku